Semakin terbatasnya ketersediaan frekuensi rendah, mendorong penggunaan frekuensi tinggi untuk sistem telekomunikasi teresterial dan via satelit serta untuk teknologi remote sensing. Namun, penggunaan frekuensi tinggi akan lebih sulit karena gelombang elektromagnetik pada frekuensi di atas 5 GHz mengalami pelemahan (atenuasi) yang signifikan oleh butiran hujan. Oleh karena itu, dibutuhkan pemodelan atenuasi yang lebih akurat untuk mengestimasi atenuasi oleh butiran hujan dalam perancangan sistem telekomunikasi dan remote sensing yang beroperasi pada frekuensi di atas 5 GHz. Saat ini, model dari International Telecommunication Union Radiocommunication Sector (ITU-R) paling luas digunakan untuk memodelkan atenuasi tetapi model ITU-R kurang akurat untuk kawasan tropis [1]. Misalnya, model ITU-R P.838-3 [2] mengasumsikan butiran hujan di seluruh dunia sama padahal di kawasan tropis butiran hujan bervariasi secara spasial dan temporal [3]. Hal inilah yang mendorong Fadli Nauval dkk. untuk meneliti atenuasi gelombang elegtromagnetik berdasarkan data butiran hujan di Indonesia. Ide ini muncul dari kunjungan Fadli Nauval ke Dr. Alessandro Battaglia, peneliti senior di Earth Observation Science Group, Space Research Centre, Department of Physics and Astronomy, Univeritas Leicester, Inggris.
Dalam penelitian ini Fadli dkk. mengestimasi atenuasi gelombang elektromagnetik dari data butiran hujan di Indonesia untuk pita frekuensi Ku-band (13.6 GHz), Ka-band (25.6 GHz), and W-band (96 GHz). Selain itu, mereka menguji akurasi model ITU-R P.838-3 dalam memprediksi atenuasi di Indonesia. Data butiran hujan mereka dapatkan dari pengamatan Particle Size and Velocity (Parsivel) disdrometer. Parsivel terpasang di lima titik sepanjang ekuator yaitu Padang, Kototabang, Pontianak, Manado dan Biak. Pemasangan Parsivel didukung oleh RISH Universitas Kyoto dan berbagai institusi lainnya. Dalam perhitungan atenuasi mereka menggunakan tampang lintang hamburan Mie yang dihitung dengan asumsi butiran hujan berbentuk bulat [4] dan indeks bias air hujan dihitung dengan meggunakan metode Liebe [5].
Dari penelitian ini mereka mendapatkan beberapa kesimpulan. Pertama, pada frekuensi Ka-band dan W-band, atenuasi tertinggi teramati di Manado dan Biak sedangkan pada Ku-band atenuasi tertinggi teramati di Pontianak. Kedua, perbedaan karakteristik butiran hujan juga berdampak kepada perbedaan akurasi model ITU-R. Untuk, frekuensi Ku-band, perbedaan atenuasi dari model ITU-R dengan atenuasi dari hasil pengukuran butiran hujan sekitar 18%. Model ITU-R lebih akurat pada frekuensi Ku-band dan W-band dengan persentase error kurang dari 10%. Ketiga, atenuasi juga bergantung kepada waktu terjadinya hujan. Di Padang dan Pontianak, tingkat akurasi model ITU-R untuk frekuensi Ka-band lebih rendah pada malam hari dibandingkan pagi hari.
Dari kegiatan PKM ini telah dihasilkan beberapa luaran. Pertama, publikasi pada jurnal internasional terindex SCOPUS yaitu pada Jurnal Progress In Electromagnetics Research M, Vol. 57, 25-34. Kedua, Fadli dkk., juga telah menghadiri Seminar Nasional Sains Atmosfer 2017, di Bandung, 26 April 2017.
Terdapat beberapa potensi dari kegiatan penelitian yang telah dilaksanakan. Pertama, penelitian ini menguji tiga frekuensi yang digunakan oleh satelit pengamatan atmosfir seperti Global Precipitation Measurement/Dual-frequency Precipitation Radar (GPM/DPR) dan the Earth Clouds, Aerosols and Radiation Explorer (EarthCARE) cloud profiling radar. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk koreksi atenuasi dari data ketiga satelit tersebut. Kedua, variasi spasial dan temporal atenuasi gelombang elektromagnetik harus selalu menjadi perhatian pada saat memodelkan sistem telekomunikasi di wilayah tropis seperti untuk mendesain power link budget, fade margin, terutama pada frekuensi di atas 5 GHz. Pemodelan tersebut tidak dapat hanya mengandalkan model ITU-R tetapi sebaiknya menggunakan model yang memanfaatkan butiran hujan yang betul-betul berasal dari daerah yang akan dirancang. Ketiga, hasil penelitian ini memperlihatkan asumsi bahwa butiran hujan sama di semua belahan dunia sebagaimana yang digunakan model ITU-R P.838-3 dalam memperkirakan atenuasi gelombang elektromagnetik tidaklah begitu tepat. Oleh karena itu, diperlukan koreksi model ITU-R P.838-3 yang melibatkan karakteristik lokal daripada butiran hujan dan parameter meteorologi lainnya. [Mz/Ln]
Daftar Pustaka
[1] Obiyemi, dkk., “Performance analysis of rain rate models for microwave propagation designs over tropical climate,” Progress In Electromagnetics Research M , Vol. 39, 115–122, 2014, doi:10.2528/PIERM14083003.
[2] Radiowave Propagation Series, I.T.U., “Specific attenuation model for rain for use in prediction methods,” Recommendation ITU-R P.838-3 , International Telecommunications Union, Geneva, 2005.
[3] Marzuki, dkk., 2013, "Regional Variabilityof Raindrop Size Distribution over Indonesia", Annales Geophys, Vol. 31, hal. 1941-1948.
[4] Bohren, C.F. dan Huffman, D.R., 1983, "Absorption and Scattering of Light by Small Particle", John Wiley and & Sons, Inc, Kanada.
[5] Liebe, dkk., 1991, "A Model for the Complex Permitivity of Water at Frequencies Below 1 THZ", International Journal of Infrared and Milimeter Waves, Vol. 12, No. 7, hal. 659-657.