""
Rabu, 19 Juli 2017 07:45

Paris Agreement Tanpa Amerika Serikat?

Rate this item
(1 Vote)

(Padang-Fisika Unand)-Kesepakan Paris atau Paris Agreement (PA)  adalah sebuah kesepakatan mengenai perubahan iklim yang dihasilkan selama negosiasi iklim ke 21 (COP 21) dari Konvensi Kerangka Kerja PBB Untuk Perubahan iklim (The United Nations Framework Convention on Climate Change-UNFCCC) yang  berlangsung di Paris dari 30 November hingga 13 Desember 2015. Pertemuan Paris merupakan pertemuan bersejarah yang menghasilkan kesepakatan pertama yang mengikat (legally binding) sejak Protokol Kyoto yang lahir pada COP ke 3. Kesepakatan akan mengikat secara hukum jika diratifikasi setidaknya oleh 55 negara yang mewakili 55 persen emisi gas rumah kaca global tahunan. Berdasarkan laman UNFCCC, pada tanggal 5 Oktober 2016, ambang batas untuk mulai berlakunya PA telah tercapai.

Terdapat lima poin utama yang merupakan kesimpulan dari PA. Pertama, upaya mitigasi dengan cara mengurangi emisi dengan cepat untuk mencapai ambang batas kenaikan suhu bumi yang disepakati, yakni di bawah 2 derajat Celcius dan diupayakan ditekan hingga 1,5 derajat Celcius. Kedua, sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi secara transparan. Ketiga,upaya adaptasi dengan memperkuat kemampuan negara-negara untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Keempat,kerugian dan kerusakan dengan memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim. Kelima, bantuan, termasuk pendanaan bagi negara-negara untuk membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan.

PA didukung sedikitnya 195 negara termasuk dua negara produsen emisi karbon terbesar dunia yaitu Amerika Serikat (AS) dan Cina. Namun, dunia dikejutkan dengan keputusan Presiden Donald Trump yang menarik diri dari PA. Saat mengumumkan kebijakan tersebut di Taman Mawar Gedung Putih tanggal 1 Juni, Presiden Trump berdalih dengan alasan ekonomi dimana dia menggambarkan PA sebagai perjanjian yang ditujukan untuk memincangkan, merugikan, dan memiskinkan AS. Sebetulnya, kekhawatiran keluarnya AS dari PA telah muncul pada saat hasil pilpres AS diumumkan. Suasana konferensi perubahan iklim (COP 22) di Marakesh, Maroko, yang dimulai pada 7 November 2016  penuh kekhawatiran setelah Donald Trump terpilih menjadi Presiden AS yang baru. Dengan menarik diri dari PA, AS bergabung dengan Suriah dan Nikaragua yang sejak awal tidak menandatangani kesepakatan ini. Sebetulnya, AS tidak bisa menarik diri dari PA dengan mudah karena perjanjian ini melarang keluar semua pihak (negara peratifikasi) untuk jangka waktu tiga tahun, ditambah periode pemberitahuan selama setahun, sehingga akan ada empat tahun yang stabil.

Keluarnya AS dari PA tentu saja menimbulkan dampak terhadap kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perubahan iklim. Pertama, AS adalah negara dengan produsen emisi karbon yang sangat besar. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh PBL Netherlands Environmental Assessment Agency tahun 2016, terdapat enam negara yang menjadi penyumbang dua per tiga total karbon dunia yaitu Cina (29%), AS (14%), Uni Eropa (10%), India (7%), Federasi Rusia (5%) dan Jepang (3,5%). Dengan demikian, AS adalah bagian dari masalah dan sekaligus bisa menjadi bagian dari solusi terhadap perubahan iklim. Keluarnya AS dari PA dikhawatirkan akan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Di bawah Presiden Barack Obama, AS berjanji untuk mengurangi emisi sebesar 26-28 persen pada tahun 2025, dibandingkan dengan tingkat emisi tahun 2005.Trump kemungkinan akan membatalkan semua peraturan penting yang dibuat Obama untuk mengurangi emisi karbondioksida Amerika, termasuk rencana pembangkitan energi bersih yang merupakan rencana utama penurunan emisi karbondioksida. Jika keluarnya AS dari PA berefek pada “matinya” PA, maka peningkatan suhu global bisa naik 5 derajat di atas tingkat pra-industri pada akhir abad ini atau bahkan lebih tinggi lagi. Kekhawatiran ini disampaikan oleh Professor Michael Mann, Direktur Meteorologi dari Pusat Sains Sistem Bumi, Universitas Negeri Pensilvania. Kekhawatiran juga disampaikan oleh Dr. Benjamin M. Sanderson dari National Center for Atmospheric Research, AS dan Dr. Reto Knutti dari Institute for Atmospheric and Climate Science, ETH Zurich, Swis. Dalam tulisan mereka di Jurnal Nature Climate Change yang diterbitkan secara online tanggal 26 Desember 2016, dua pakar pemodelan iklim ini melakukan projeksi emisi gas jika seluruh negara di dunia memilih untuk keluar dari komitmen pemotongan gas rumah kaca mereka selama delapan tahun ke depan. Mereka menemukan bahwa probabilitas suhu global untuk bertahan di bawah ambang batas 2 derajat (sebagaimana yang diharapkan PA) turun dari sekitar dua pertiga menjadi sekitar sepuluh persen saja. Bahkan jika emisi menurun kembali setelah delapan tahun, maka diperlukan waktu 15-25 tahun untuk dapat kembali ke kondisi semula dengan upaya mitigasi "yang kuat". Dengan demikian, kekeliruan tindakan berkenaan dengan perubahan iklim akan memberikan dampak yang cepat dengan konsekuensi jangka panjang.

Kedua, keluarnya AS dari PA kemungkinan akan menurunkan dukungan pembiayaan kegiatan-kegiatan berkenaan dengan perubahan iklim. AS adalah kontributor utama bagi Green Climate Fund (GCF) dan telah menjanjikan dukungan sebesar 3 Milliar Dollar AS (1/3 dari total dana) dan baru 1 milliar Dollar AS yang telah dibayarkan. Negara-negara berkembang telah memulai program nationally determined contribution (NDC), dalam mengurangi emisi karbon dan banyak dari program ini yang bergantung pada dukungan biaya dari negara maju, termasuk AS.  Dr. Luke Kemp, dari Australian National Australia, dalam tulisannya di  Nature Climate Change yang terbit secara online tanggal 22 Mei 2017, mengatakan bahwa draf laporan keuangan AS (America First) menunjukkan pemotongan pendanaan untuk kegiatan perubahan iklim yang sangat signifikan, termasuk untuk GCF dan UNFCCC. Pemotongan dukungan dana dari AS ini bisa saja mempengaruhi kegiatan perubahan iklim di dalam dan luar AS, termasuk di Indonesia. Dana AS yang saat ini ada di Indonesia sendiri cukup signifikan, terutama yang terkait dengan adaptasi. Pemotongan dana ini meningkatkan kesulitan  Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim. Walaupun demikin, pemotongan dukungan dana inisesungguhnya dapat dilakukan Trump dalam kondisi apapun, baik ketika di dalam atau di luar PA.

Keluarnya AS dari PA tidaklah menurunkan optimisme kita terhadap upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.Trump hanyalah satu orang dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perubahan iklim akan tetap berjalan tanpa dukungan kebijakan politik Trump sebab perubahan iklim akan tetap pula terjadi dan tidak akan terhenti dengan gonjang-ganjing politik.  Inilah rasa optimisme yang coba ditampakkan selama pertemuan  COP 22 di Marakesh, Maroko. Tentu sikap optimisme ini punya dasar dan tidak berlebihan. Lebih dari 650 Walikota di dunia, telah berkomitmen dengan jelas untuk mengatasi emisi kota mereka. Selain itu, meskipun Trump keluar dari PA, sebagian negara bagian di AS seperti California tetap berkomitmen untuk memototong emisi gas rumah kaca. Dukungan kuat juga diperlihatkan oleh para pengusaha, selama COP 22 sekitar 360 perusaan seperti DuPont, eBay, Nike, Unilever, dan Starbucks, menulis surat terbuka agar AS tetap di dalam PA. Hal ini tidaklah mengherankan karena perubahan iklim tidak hanya masalah iklim tetapi juga ekonomi.Transisi global ke arah ekonomi rendah karbon (ekonomi hijau), ekonomi yang tahan perubahan iklim tidak akan terbendung. Dr. Andrew Steer, Presiden dan CEO World Resources Institutes (WRI) mengatakan bahwa hampir 200 perusahaan terbesar di dunia telah berkomitmen untuk menetapkan target gas rumah kaca. Dengan demikian, ekonomi global akan tetap mengarah ke de-karboniasi dengan atau tanpa Trump.  Tindakan berhubungan dengan perubahan iklim tidak dapat diseting oleh ideologi, tetapi oleh ekonomi dan kemajuan teknologi. Melawan keinginan dan tren global ini pada hakekatnya adalah sebuah tindakan “sabotase diri” terhadap ekonomi mereka.

Keluarnya Trump dari PA menjadi peluang dan tantangan bagi negara-negara di dunia. Negara-negara di dunia harus lebih meningkatkan keseriusan mereka dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kegiatan yang berketahanan, yang pembiayaannya tidak bergantung hanya pada negara tertentu.Dalam PA, negara didunia ingin menahan pemanasan global maksimal 2 derajat Celsius di tahun 2100. Rencana Trump untuk tetap melakukan eksploitasi energi fosil secara massif akan membuat seluruh dunia makin sulit mencapai target 2 derajat itu.  Oleh karena itu, jika target ini masih mau dicapai, maka pemotongan energi fosil dan sumber-sumber emisi lainnya haruslah dilakukan dengan lebih dalam lagi oleh negara-negara lain sebagai penutup dari apa yang ditinggalkan oleh AS. Ditinggalkannya PA oleh Trump memberikan pelajaran besar bagi tata kelola iklim jangka panjang. Kita harus mempertimbangkan secara serius ancaman dari pihak-pihak yang tidak meratifikasi kesepakatan-kesepakatan di bidang perubahan iklim (salah satunya PA), terutama jika mereka memiliki kekuatan super (superpower).Hal ini pernah ditegaskan oleh Dr. Luke Kemp dalam sebuah artikel di Jurnal Climate Policy volume 17 tahun 2017.

Ditinggalkannya PA oleh AS, kemungkinan akan melahirkan pemimpin baru di bidang perubahan iklim.  Cina telah menyatakan komitmennya untuk tetap mendukung PA. Hal tersebut telah terlihat sejak acara KTT G20 di Hangzhou, Cina pada September 2016, dimana Cina menyatakan bakal meratifikasi PA untuk penanganan perubahan iklim global. Kemajuan terbaru yang paling mengejutkan adalah Cina membuat kesepakatan bilateral pertama mengenai perubahan iklim dengan  Uni Eropa. China adalah rumah bagi beberapa produsen energi angin dan solar terbesar di dunia. Jika AS mundur, maka inilah saat yang tepat bagi Cina untukmemainkan peran yang lebih besar, karena peluang pasar sudah semakin dekat dengan mereka.

Terlepas dari Keluarnya Trump dari PA,  dunia harus tetap memastikan masyarakat sekarang dan generasi mendatang bisa bertahan terhadap dampak perubahan iklim. Transisi global ke ekonomi zero karbon tidak dilakukan oleh satu orang atau satu negara. Seluruh dunia tentu tidak akan mengambil risiko bencana iklim global karena satu orang. Oleh karena itu, seluruh dunia harus bersatu untuk memerangi perubahan iklim dan menciptakan dunia yang adil untuk semua orang.

 

Penulis

Dr. techn. Marzuki

Ketua Jurusan Fisika Universitas Andalas

Delegasi Indonesia dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Sixth Assessment Report (AR6) Scoping Meeting.

Read 25763 times